Selasa, 25 Maret 2008

Menemukan Jalan Di Balik Kegelapan

Menemukan Jalan Di Balik Kegelapan

Percaya diri. Dua kata yang pernah hilang, bahkan lenyap dari diriku. Satu hari, di mana aku harus merelakan dua kata itu untuk pergi menjauh dariku, karena pada waktu itu kurasa dunia telah kiamat. Mungkin hanya aku yang dapat merasakannya, karena tak satupun orang yang betul-betul dapat merasakan apa yang aku rasakan pada saat itu.

Mentari yang biasanya tersenyum dari ufuk timur sekarang tak lagi dapat kuperhatikan. Rembulan yang sedang menyapaku hanya terdengar sapaan angin malam yang kelam. Dan itulah suasana pertama kali aku tak lagi dapat melihat indahnya dunia ini.

Pada waktu itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar negri kelas VI (enam). Seperti biasa aktifitasku berjalan dengan baik. Jam pelajaran yang sudah sangat kurindukan kelenyapannya dari muka bumi ini akhirnya tiba. Ketika aku sedang belajar matematika bersama dengan teman sekelas, kejadian yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya terjadi.

Memang sejak usiaku 4 tahun kedua mataku mengalami penurunan penglihatan, dan sejak itulah aku menggunakan kaca mata yang ukurannya sangat tebal. Sampai akhirnya aku berusia 12 tahun, tepat ketika aku ingin membaca buku paket matematika suasana hati menjadi hening. Huruf-huruf, angka-angka dan lain sebagainya yang sedang berbaris rapih di dalam buku itu tak lagi nampak di mataku. Aku tersentak. Tapi aku tak percaya bahwa ini benar-benar terjadi padaku.

Hari demi hari kulalui dengan iringan air mata yang terus membanjiri pipi. Dengan sisa-sisa semangatku, aku mencari pelita kehidupan yang abadi. Pelita hidup yang dapat menjamin masa depanku agar tetap cerah. Aku berikhtiar, berdoa dan terus-menerus mendapat dukungan, baik secara moril maupun materil, dari orang tuaku, semua keluargaku bahkan teman-temanku.

Ternyata apa yang telah aku lakukan selama ini bukan satu hal yang sia-sia. Zat Yang Maha Melihat ternyata benar-benar mengabulkan doaku. Memang, aku tetap tak dapat melihat mentari dan rembulan lagi. Tetapi, kesempatan untuk tetap membuat masa depanku cerah dapat kutemui jalan keluarnya. Suatu hari aku diperkenalkan oleh satu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan para penyandang cacat tunanetra. Dengan fasilitas yang disediakan akhirnya aku bisa meneruskan keinginanku untuk terus menimba ilmu. Sampai akhirnya sekarang aku sudah duduk di bangku kuliah.

Bagaikan batu yang keras dan nampak tak mungkin untuk dipecahkan, sekarang batu itu pecah berkeping-keping dengan tetesan air yang terus-menerus membasahinya. Seperti lahar yang keluar dari kawah gunung berapi, aku menyadari apa yang sekarang aku alami. Mungkin bagiku keindahan alam ini sudah tak ada lagi, tetapi bagi hatiku masih ada satu hari di mana aku akan merasakan keindahan dunia ini kembali.

Aku coba bangkit. Aku coba hapus air mata yang membanjiri pipi. Dan aku jalani hidup ini dengan mata hatiku. Satu hari nanti pasti ada keajaiban yang akan menimpa diriku, menjadikan seorang yang buta ini sebagai roket yang terus melesat tanpa kenal lelah, tanpa kenal rintangan dan menjemput kembali dua kata yang telah pergi itu.

Tidak ada komentar: